Wawasan Modern
Teori Ekonomi Yahya bin Umar
Oleh Yeni
Indriana, S.Pd
NIM : 120.3016.0008/
PPS Ekonomi Syari’ah – IAIN Salatiga
Email : indriayenni177@yahoo.co.id
Abstrak :
Aktivitas
ekonomi adalah aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan barang dan
jasa, untuk tujuan keberlangsungan hidupnya guna mencapai kesejahteraan. Bagi
seorang muslim segala aktivitas hidupnya khususnya dalam kegiatan ekonominya
menjadikan dunia sebagai ladang mencapai ketakwaan untuk kehidupan di
akhiratnya. Aktivitas ekonomi dalam segala bidangnya telah ada sejak manusia
lahir di muka bumi. Perkembangan ekonomi dan ilmu ekonomi pun melandasi
perilaku manusia. Islam sebagai agama yang komprehensif dalam aturan
hukum-hukum nya, sangat concern sekali memberi landasan hukum bagi kegiatan
berekonomi bagi ummat muslim. Aktivitas ekonomi dalam Islam adalah kajian
tentang mu’amalah, di mana elemen dasarnya adalah aktivitas jual beli di dalam
kehidupan bermasyarakat. Aktivitas jual beli merupakan sarana saling tolong
menolong antar sesama manusia, namun tidak memungkiri dalam suatu transaksi pun
sifat dasar manusia yang terkadang sombong, angkuh dan sewenang – wenang dapat
mempengaruhi kehidupan berekonomi. Banyak sekali persoalan – persoalan ekonomi
di muka bumi dari berabad – abad yang lalu hingga kekinian, manusia masih
menghadapi persoalan – persoalan yang sama dalam perekonomiannya, baik dalam
skoup kecil (RT ), desa, kota, negara, dan antar negara. Di tiap zaman
persoalan ekonomi yang melingkupinya baik dipengaruhi politik, sosio budaya,
dan ketatanegaraan dan faktor lainnya melahirkan pikiran – pikiran atasa dasar
ilmu untuk menyelesaikan persoalan ekonomi yang melanda daerah tersebut.
Pada
makalah ini akan membahas bagaimana pemikir dan ekonom di zaman abad III H
yaitu Yahya bin Umar, yang telah memberi sumbangsih pemikirannya atas persoalan
ekonomi pada zamannya, namun juga menjadi bahan rujukan untuk menghadapi
persoalan – persoalan ekonomi hingga zaman modern saat ini dan masih sangat
relevan. Pemikirannya tentang penetapan harga (ta’sir ) , ihtikar dan politik
dumping, menjadi bahan rujukan untuk menyelesaikan persoalan di zaman modern
saat ini. Apakah masih relevan pula dengan kajian para ekonom abad modern
sekarang ini dalam memecahkan persoalan yang sama?
Kata Kunci : Yahya Bin
Umar, Ta’sir, Ihktikar, Politik dumping
Pendahuluan
Yahya bin Umar merupakan salah satu ulama' abad III H
dari madzhab Maliki yang sangat produktif dalam menuangkan ide-idenya menjadi
karya tulis yang bermanfaat bagi orang banyak. Nama lengkapnya
adalah Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al Kannani Al Andalusi, lahir pada
tahun 213 H.[1]
Dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti para cendekiawan muslim terdahulu, dia
berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Awalnya ia singgah di Mesir
dan berguru kepada pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al Maliki dan Ibnu Qasim,
seperti Ibnu Al Kirwan Ramh dan Abu Al Zhahir bin Al Sarh. Setelah itu ia
pindah ke Hijaz dan berguru di antaranya kepada Abu Mus’ab Az – Zuhri. Pada
akhirnya Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika dan menyempurnakan
pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin
Sulaiman Al Farisi.
Dalam
perkembangannya selanjutnya, ia mengajar di Jami’ Al Qairuwan.[2]
Pada masa hidupnya inilah terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah
dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh
dalam pemerintahan. Bahkan Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan
menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun yang berusaha menyingkirkan para ulama
penentangnya, baik dengan memenjarakannya, membunuh. Setelah Ibnu ‘Abdun turun
dari jabatannya, Ibrahim Ahmad Al Aghlabi menawarkan jabatan Qadi kepada Yahya
bin Umar, namun ia menolaknya dan memilih menetap tinggal di Sausah serta
mengajar di Jami’ Al Sabt hingga akhir hayatnya.
Karya tulis
yang sudah berhasil dibukukan ± dari 40 juz, diantaranya adalah kitab "Ahkam
as-Suq." Sebuah kitab yang membahas tentang persoalan-persoalan
ekonomi. Kitab Ahkam as-Suq terasa lebih membumi karena kitab
tersebut merupakan hasil dialektika Yahya bin Umar dengan lingkungan sosialnya,
yaitu kota Qairuwan, yang terletak di Afrika Utara. Sebuah kota yang sudah
memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H. Sekalipun tema utama
yang diangkat dalam kitab tersebut adalah mengenai hukum-hukum pasar misalnya
tentang ta'sir (penetapan harga), tetapi pada dasarnya Umar bin Yahya
lebih banyak membahas tentang persoalan ihtikar dan siyasah al Ighraq.
Kedua istilah tersebut dalam
ilmu ekonomi kontemporer dikenal dengan monopoly's rent-seeking
(ihtikar) dan dumping Policy
(siyasah
al-ighraq).
Kitab
Ahkam Al Suq
Kitab Ahkam Al Suq
merupakan kitab pertama di dunia yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum
pasar, salah satu hal yang mempengaruhinya adalah situasi Kota Qairuwan tempat
Yahya bin Umar menghabiskan bagian penting masa hidupnya. Pada saat itu kota tersebut
telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H dan para
penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al Muhibli hinga sebelum masa
Ja’far Al Manshur, sangat memperhatikan keberadaan institusi pasar.[3]
Bahkan pada tahun 234 H , Kanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut
mengangkat seorang hakim yang khusus menangani permasalahan – permasalahan
pasar. Dengan demikian pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki
dua keistimewaan yaitu :
1. Keberadaan
institusi pasar mendapat perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari para
penguasa.
2. Dalam
lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai
permasalahan pasar.
Penulisan Kitab Ahkam
Al Suq, dilatarbelakangi dua persoalan mendasar
yaitu :
a. Hukum
syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam suatu
wilayah.
b. Hukum
syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan
liberalisasi harga, sehingga dikhawatikan akan menimbulkan kemudharatan bagi
para konsumen.
Yahya bin Umar diyakini
mengajarkan kitab tersebut pertama kali di Kota Sausah pada masa pasca konflik.
Pembahasan
Pemikiran Ekonomi
Menurut
Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan
dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa ketakwaan
adalah asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor yang membedakan antara
ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Setiap muslim harus berpegang teguh
pada sunnah yang telah diajarkan oleh Muhammad SAW. Selanjutnya menurutnya
Keberkahan selalu menyertai orang – orang yang bertakwa, sesuai dengan firman
Allah SWT :
“ Jikalau sekiranya penduduk negeri – negeri
beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat – ayat Kami ) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya “ ( Al A’raf : 96 ).
Seperti
yang telah dikemukakan di awal, fokus perhatian kajian Yahya bin Umar adalah
pembahasan tentang Tas’ir ( penetapan harga ). Ia menyatakan bahwa eksistensi
harga merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi dan pengabaian
terhadapnya akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan
dengan hal tersebut Yahya bin Umar berpendapat bahwa Al Tas’ir ( penetapan
harga ) tidak diperbolehkan, dengan berhujjah pada hadis Nabi Muhammad SAW,
yaitu :
Dari
Anas bin Malik, ia berkata : “ Telah melonjak harga ( di pasar) pada masa
Rasulullah SAW. Mereka (para sahabat ) berkata : “ Wahai Rasulullah ,
tetapkanlah harga bagi kami”. Rasulullah menjawab : “ Sesungguhnya Allah – lah
yang menguasai ( harga ), yang memberi rezeki, yang memudahkan dan yang
menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang
pun ( boleh ) memintaku untuk melakukan suatu kezaliman dalam persoalan jiwa
dan harta “. (Riwayat Abu Dawud ).[4]
Dari
konteks hadis di atas, terbaca jelas bahwa tidak diperbolehkan kebijakan
penetapan harga jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata – mata hasil
interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Demikian dalam konteks
pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi harga. Hal tersebut
akan berbeda jika kenaikan harga diakibatkan oleh ulah manusia (human error).
Pemerintah sebagai institusi formal memikul tanggung jawab menciptakan kesejahteraan
umum, berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang
membahayakan kehidupan masyarakat luas. Yahya bin Umar menyatakan pemerintah
tidak boleh melakukan intervensi kecuali dalam dua hal, yaitu :
1.
Para pedagang tidak memperdagangkan
barang dagangan tertentunya yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat
menimbulkan kemudharatan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini
pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dan menggantikannya dengan
para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
2.
Para pedagang melakukan siyasah al
ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan tidak
sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga. Dalam hal ini pemerintah berhak
memerintahkan para pedagang tersebut menaikkan harganya sesuai dengan harga
yang berlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya pemerintah berhak mengusir
para pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah dilakukan Umar ibn Khattab
r.s ketika mendatangi suatu pasar dan menemukan bahwa Habib bin Abi Balta’
menjual anggur kering pada harga di bawah pasar, Umar r.a langsung menegur : “
naikkan hargamu atau tinggalkan pasar kami “. [5]
dalam bahasa kekinian hal tersebut dinamakan price intervention.
Jadi
intinya dapat dikatakan bahwa, pemikiran Yahya bin Umar adalah hukum asal
intervensi pemerintah adalah haram, intervensi baru dapat dilakukan jika
kesejahteraan masyarakat mulai terancam. Pendapatnya lagi tentang tas’ir
tersebut menunjukkan tentang sikap pemikirannya bahwa ia mendukung kebebasan
ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan. Tetapi tentunya kebebasan yang
dimaksud adalah kebebasan yang terikat oleh kaidah – kaidah dalam syari’at
Islam.
Selanjutnya
kita akan membahas lebih mendalam tentang 3 (tiga hal ) yang menjadi pemikiran
utama Yahya bin Umar. Yaitu Ihtikar (kegiatan menimbun dan memonopoli ),
siyasah al ighraq ( kegiatan banting harga ) serta regulasi harga oleh
pemerintah .
A.
Ihtikar ( Monopoly’s Rent – Seeking )
Ihtikar
merupakan tindakan menyimpan harta atau menimbun barang yang mengakibatkan
melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok
barang yang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat sangat
membutuhkannya. [6]
Islam secara tegas melarang ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang
lebih tinggi [7].
Dalam istilah ekonominya monopolistic rent.
Monopoli atau ihtikar
adalah menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya
naik. Islam secara tegas melarang praktek ihtikar, sebab ihtikar dapat
mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar, di mana penjual akan menjual
sedikit barang dagangannya, sementara permintaan terhadap barang tersebut
sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan barang. Berdasarkan hukum
ekonomi, maka:
”Semakin sedikit persediaan barang di
pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin
berkurang.”
Dalam kondisi seperti
ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga
normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan normal (super
normal profit),
sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat
akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam
pasar monopoli seorang produsen dapat
bertindak sebagai price maker (penentu harga).[8]
Para ulama sepakat
bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan
kemudlaratan bagi manusia. Sedangkan kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus
dihilangkan. Implikasi lebih jauh, ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme
pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain
dan dapat menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia, sebab
konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos
marjinal. Dengan demikian praktek ihtikar akan menghambat kesejahteraan umat
manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah
kesejahteraan umat manusia. [9]
Tetapi yang harus
dipahami lebih lanjut adalah, sesuatu baru dikatakan sebagai ihtikar apabila, pertama;
barang yang ditimbun merupakan kebutuhan pokok masyarakat, kedua; penimbunan
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan di atas keuntungan normal (super
normal profit) dan ketiga; barang yang ditimbun adalah melebihi
dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Tindakan
seseorang yang menyimpan stok barang tertentu untuk kepentingan persediaan,
seperti ketika terjadi panen raya atau untuk persediaan kebutuhan pribadinya
tidak bisa dikatakan sebagai tindakan ihtikar. Sebab hal tersebut tidak akan
mengakibatkan kelangkaan barang di masyarakat, justru jika hal itu tidak
dilakukan oleh perusahaan atau produsen tertentu harga barang akan anjlok dan
rakyat akan mengalami kerugian. Bahkan pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1948 tentang
penimbunan barang penting, seperti beras, gabah, padi, menir, tepung beras,
gula dalam jumlah tertentu. Beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula
masing-masing tidak lebih dari 500 Kg. Dengan demikian pemerintah
memperbolehkan melakukan penimbunan barang oleh institusi tertentu dengan
maksud untuk melindungi konsumen dan produsen. Sedangkan penimbunan yang
dimaksudkan untuk mendapatlan keuntungan maksimal dan merugikan pihak
lain, dilarang.
[10]
Cara
yang dilakukan oleh perusahaan/produsen dalam melakukan tindakan ihtikar
bermacam-macam, diantaranya:
a. Volume produksi (kuantitas barang) lebih kecil dari
volume output yang optimum (Qm), padahal produsen sebenarnya mampu untuk
memproduksi dalam jumlah yang lebih
besar (Q) atau paling tidak di titik (Q1).
b. Ada kemungkinan keuntungan monopoli tetap bisa
dinikmati produsen monopoli dalam jumlah yang besar dan jangka panjang (PmXYZ).
c. Ada unsur “eksploitasi” oleh
perusahaan-perusahaan monopoli terhadap:
1) Konsumen, dengan ditetapkan harga jual (=P) di atas
ongkos produksi dari unit terakhir outputnya (=MC).
2) Pemilik faktor-faktor produksi yang digunakan oleh
produsen monopoli tersebut, dengan dibayarnya faktor produksi dengan harga
(=MC) yang lebih rendah dari nilai pasar dari output yang dihasilkan (=P).
3) Kualitas barang lebih rendah, dan konsumen terpaksa
membeli, sebab tidak ada barang lainnya.