Belajar dan Mengaji Yuuk !

Belajar dan Mengaji Yuuk !
it'is me

Kamis, 03 November 2016



Wawasan Modern Teori Ekonomi Yahya bin Umar
Oleh Yeni Indriana, S.Pd
NIM : 120.3016.0008/ PPS Ekonomi Syari’ah – IAIN Salatiga

Abstrak :
Aktivitas ekonomi adalah aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan barang dan jasa, untuk tujuan keberlangsungan hidupnya guna mencapai kesejahteraan. Bagi seorang muslim segala aktivitas hidupnya khususnya dalam kegiatan ekonominya menjadikan dunia sebagai ladang mencapai ketakwaan untuk kehidupan di akhiratnya. Aktivitas ekonomi dalam segala bidangnya telah ada sejak manusia lahir di muka bumi. Perkembangan ekonomi dan ilmu ekonomi pun melandasi perilaku manusia. Islam sebagai agama yang komprehensif dalam aturan hukum-hukum nya, sangat concern sekali memberi landasan hukum bagi kegiatan berekonomi bagi ummat muslim. Aktivitas ekonomi dalam Islam adalah kajian tentang mu’amalah, di mana elemen dasarnya adalah aktivitas jual beli di dalam kehidupan bermasyarakat. Aktivitas jual beli merupakan sarana saling tolong menolong antar sesama manusia, namun tidak memungkiri dalam suatu transaksi pun sifat dasar manusia yang terkadang sombong, angkuh dan sewenang – wenang dapat mempengaruhi kehidupan berekonomi. Banyak sekali persoalan – persoalan ekonomi di muka bumi dari berabad – abad yang lalu hingga kekinian, manusia masih menghadapi persoalan – persoalan yang sama dalam perekonomiannya, baik dalam skoup kecil (RT ), desa, kota, negara, dan antar negara. Di tiap zaman persoalan ekonomi yang melingkupinya baik dipengaruhi politik, sosio budaya, dan ketatanegaraan dan faktor lainnya melahirkan pikiran – pikiran atasa dasar ilmu untuk menyelesaikan persoalan ekonomi yang melanda daerah tersebut.
Pada makalah ini akan membahas bagaimana pemikir dan ekonom di zaman abad III H yaitu Yahya bin Umar, yang telah memberi sumbangsih pemikirannya atas persoalan ekonomi pada zamannya, namun juga menjadi bahan rujukan untuk menghadapi persoalan – persoalan ekonomi hingga zaman modern saat ini dan masih sangat relevan. Pemikirannya tentang penetapan harga (ta’sir ) , ihtikar dan politik dumping, menjadi bahan rujukan untuk menyelesaikan persoalan di zaman modern saat ini. Apakah masih relevan pula dengan kajian para ekonom abad modern sekarang ini dalam memecahkan persoalan yang sama?
Kata Kunci : Yahya Bin Umar, Ta’sir, Ihktikar, Politik dumping
Pendahuluan
Yahya bin Umar merupakan salah satu ulama' abad III H dari madzhab Maliki yang sangat produktif dalam menuangkan ide-idenya menjadi karya tulis yang bermanfaat bagi orang banyak. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al Kannani Al Andalusi, lahir pada tahun 213 H.[1] Dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti para cendekiawan muslim terdahulu, dia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Awalnya ia singgah di Mesir dan berguru kepada pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al Maliki dan Ibnu Qasim, seperti Ibnu Al Kirwan Ramh dan Abu Al Zhahir bin Al Sarh. Setelah itu ia pindah ke Hijaz dan berguru di antaranya kepada Abu Mus’ab Az – Zuhri. Pada akhirnya Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al Farisi.
Dalam perkembangannya selanjutnya, ia mengajar di Jami’ Al Qairuwan.[2] Pada masa hidupnya inilah terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Bahkan Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan memenjarakannya, membunuh. Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim Ahmad Al Aghlabi menawarkan jabatan Qadi kepada Yahya bin Umar, namun ia menolaknya dan memilih menetap tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al Sabt hingga akhir hayatnya.
 Karya tulis yang sudah berhasil dibukukan ± dari 40 juz, diantaranya adalah kitab "Ahkam as-Suq." Sebuah kitab yang membahas tentang persoalan-persoalan ekonomi. Kitab Ahkam as-Suq terasa lebih membumi karena kitab tersebut merupakan hasil dialektika Yahya bin Umar dengan lingkungan sosialnya, yaitu kota Qairuwan, yang terletak di Afrika Utara. Sebuah kota yang sudah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H. Sekalipun tema utama yang diangkat dalam kitab tersebut adalah mengenai hukum-hukum pasar misalnya tentang ta'sir (penetapan harga), tetapi pada dasarnya Umar bin Yahya lebih banyak membahas tentang persoalan ihtikar dan siyasah al Ighraq. Kedua istilah tersebut dalam ilmu ekonomi kontemporer dikenal dengan monopoly's rent-seeking (ihtikar) dan dumping Policy (siyasah al-ighraq).

Kitab Ahkam Al Suq
Kitab Ahkam Al Suq merupakan kitab pertama di dunia yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, salah satu hal yang mempengaruhinya adalah situasi Kota Qairuwan tempat Yahya bin Umar menghabiskan bagian penting masa hidupnya. Pada saat itu kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H dan para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al Muhibli hinga sebelum masa Ja’far Al Manshur, sangat memperhatikan keberadaan institusi pasar.[3] Bahkan pada tahun 234 H , Kanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut mengangkat seorang hakim yang khusus menangani permasalahan – permasalahan pasar. Dengan demikian pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua keistimewaan yaitu :
1.      Keberadaan institusi pasar mendapat perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari para penguasa.
2.      Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan pasar.
Penulisan Kitab Ahkam Al Suq, dilatarbelakangi dua persoalan mendasar  yaitu :
a.       Hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam suatu wilayah.
b.      Hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga, sehingga dikhawatikan akan menimbulkan kemudharatan bagi para konsumen.
Yahya bin Umar diyakini mengajarkan kitab tersebut pertama kali di Kota Sausah pada masa pasca konflik.




Pembahasan Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa ketakwaan adalah asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor yang membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah yang telah diajarkan oleh Muhammad SAW. Selanjutnya menurutnya Keberkahan selalu menyertai orang – orang yang bertakwa, sesuai dengan firman Allah SWT :
Jikalau sekiranya penduduk negeri – negeri beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat – ayat Kami ) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya “ ( Al A’raf : 96 ).
Seperti yang telah dikemukakan di awal, fokus perhatian kajian Yahya bin Umar adalah pembahasan tentang Tas’ir ( penetapan harga ). Ia menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi dan pengabaian terhadapnya akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut Yahya bin Umar berpendapat bahwa Al Tas’ir ( penetapan harga ) tidak diperbolehkan, dengan berhujjah pada hadis Nabi Muhammad SAW, yaitu :
Dari Anas bin Malik, ia berkata : “ Telah melonjak harga ( di pasar) pada masa Rasulullah SAW. Mereka (para sahabat ) berkata : “ Wahai Rasulullah , tetapkanlah harga bagi kami”. Rasulullah menjawab : “ Sesungguhnya Allah – lah yang menguasai ( harga ), yang memberi rezeki, yang memudahkan dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang pun ( boleh ) memintaku untuk melakukan suatu kezaliman dalam persoalan jiwa dan harta “. (Riwayat Abu Dawud ).[4]
Dari konteks hadis di atas, terbaca jelas bahwa tidak diperbolehkan kebijakan penetapan harga jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata – mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Demikian dalam konteks pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi harga. Hal tersebut akan berbeda jika kenaikan harga diakibatkan oleh ulah manusia (human error). Pemerintah sebagai institusi formal memikul tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang membahayakan kehidupan masyarakat luas. Yahya bin Umar menyatakan pemerintah tidak boleh melakukan intervensi kecuali dalam dua hal, yaitu :
1.      Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentunya yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dan menggantikannya dengan para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
2.      Para pedagang melakukan siyasah al ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga. Dalam hal ini pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut menaikkan harganya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah dilakukan Umar ibn Khattab r.s ketika mendatangi suatu pasar dan menemukan bahwa Habib bin Abi Balta’ menjual anggur kering pada harga di bawah pasar, Umar r.a langsung menegur : “ naikkan hargamu atau tinggalkan pasar kami “. [5] dalam bahasa kekinian hal tersebut dinamakan price intervention.
Jadi intinya dapat dikatakan bahwa, pemikiran Yahya bin Umar adalah hukum asal intervensi pemerintah adalah haram, intervensi baru dapat dilakukan jika kesejahteraan masyarakat mulai terancam. Pendapatnya lagi tentang tas’ir tersebut menunjukkan tentang sikap pemikirannya bahwa ia mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan. Tetapi tentunya kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang terikat oleh kaidah – kaidah dalam syari’at Islam.
Selanjutnya kita akan membahas lebih mendalam tentang 3 (tiga hal ) yang menjadi pemikiran utama Yahya bin Umar. Yaitu Ihtikar (kegiatan menimbun dan memonopoli ), siyasah al ighraq ( kegiatan banting harga ) serta regulasi harga oleh pemerintah .
A.    Ihtikar ( Monopoly’s Rent – Seeking )
Ihtikar merupakan tindakan menyimpan harta atau menimbun barang yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang yang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat sangat membutuhkannya. [6] Islam secara tegas melarang ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi [7]. Dalam istilah ekonominya monopolistic rent.
Monopoli atau ihtikar adalah menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Islam secara tegas melarang praktek ihtikar, sebab ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar, di mana penjual akan menjual sedikit barang dagangannya, sementara permintaan terhadap barang tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan barang. Berdasarkan hukum ekonomi, maka:
”Semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin berkurang.”
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan normal (super normal profit), sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar  monopoli seorang produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga).[8]
Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi manusia. Sedangkan kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Implikasi lebih jauh, ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia, sebab konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos marjinal. Dengan demikian praktek ihtikar akan menghambat kesejahteraan umat manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah kesejahteraan umat manusia. [9]
Tetapi yang harus dipahami lebih lanjut adalah, sesuatu baru dikatakan sebagai ihtikar apabila, pertama; barang yang ditimbun merupakan kebutuhan pokok masyarakat, kedua; penimbunan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan di atas keuntungan normal (super normal profit) dan ketiga; barang yang ditimbun adalah melebihi dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Tindakan seseorang yang menyimpan stok barang tertentu untuk kepentingan persediaan, seperti ketika terjadi panen raya atau untuk persediaan kebutuhan pribadinya tidak bisa dikatakan sebagai tindakan ihtikar. Sebab hal tersebut tidak akan mengakibatkan kelangkaan barang di masyarakat, justru jika hal itu tidak dilakukan oleh perusahaan atau produsen tertentu harga barang akan anjlok dan rakyat akan mengalami kerugian. Bahkan pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1948 tentang penimbunan barang penting, seperti beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula dalam jumlah tertentu. Beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula masing-masing tidak lebih dari 500 Kg. Dengan demikian pemerintah memperbolehkan melakukan penimbunan barang oleh institusi tertentu dengan maksud untuk melindungi konsumen dan produsen. Sedangkan penimbunan yang dimaksudkan untuk mendapatlan keuntungan maksimal dan merugikan pihak lain,  dilarang. [10]
Cara yang dilakukan oleh perusahaan/produsen dalam melakukan tindakan ihtikar bermacam-macam, diantaranya:
a.       Volume produksi (kuantitas barang) lebih kecil dari volume output yang optimum (Qm), padahal produsen sebenarnya mampu untuk memproduksi dalam jumlah yang  lebih besar (Q) atau paling tidak di titik (Q1).
b.      Ada kemungkinan keuntungan monopoli tetap bisa dinikmati produsen monopoli dalam jumlah yang besar dan jangka panjang (PmXYZ).
c.       Ada unsur “eksploitasi” oleh perusahaan-perusahaan monopoli terhadap:
1)      Konsumen, dengan ditetapkan harga jual (=P) di atas ongkos produksi dari unit terakhir outputnya (=MC).
2)      Pemilik faktor-faktor produksi yang digunakan oleh produsen monopoli tersebut, dengan dibayarnya faktor produksi dengan harga (=MC) yang lebih rendah dari nilai pasar dari output yang dihasilkan (=P).
3)      Kualitas barang lebih rendah, dan konsumen terpaksa membeli, sebab tidak ada barang lainnya.