ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA SISTEM KEADILAN NEO-LIBERALISME,
SOSIALISME DAN ISLAM
Oleh : Yeni Indriana, S.Pd
Email : indriayenni177@yahoo.co.id
Pasca Sarjana IAIN Salatiga
Abstrak :
Keadilan ekonomi merupakan basic need semua manusia di muka
bumi dalam rangka memenuhi kesejahteraan hidupnya. Apapun bentuk permasalahan
ekonomi kontemporer utamanya adalah bersumber pada masalah ketidakadilan.
Makalah ini membahas peta analisis konsep keadilan di antaranya menurut
pandangan neo-liberalisme, sosialis dan Islam. Karena peta dunia ekonomi saat
ini telah digelayuti tiga sistem tersebut. Tolok ukur konsep keadilan antara
lain keadilan kepemilikan, keadilan produksi, keadilan konsumsi, keadilan
distribusi dan redistribusi, keadilan peran pasar dan negara.
Kata Kunci :
Keadilan, neo-liberalisme, sosialisme, ekonomi Islam
A.
Pendahuluan
Problem universal yang dihadapi semua sistem ekonomi kontemporer
hingga saat ini pada dasarnya sama, yaitu ketidakadilan ekonomi. Sistem –
sistem yang telah berjalan hanya berlandaskan pada ketamakan atau kerakusan
sehingga dalam proses perjalanan mengalami kebuntuan dalam menciptakan
keadilan. Sistem – sistem yang telah berjalan tersebut berakar pada ideologi –
ideologi ekstrem dalam dasar logika manusia semata sehingga kurang berhasil
bahkan gagal mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi ummat manusia
(pengikutnya).
Faham neoliberalis merupakan trending topic dalam 10 tahun
terakhir ini. Pada dasarnya ekonomi neoliberal dapat dijelaskan sebagai sebuah
filosofi ekonomi politik yang meminimalisir dominasi intervensi negara atau
menolak campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Ekonomi
neoliberal menitik beratkan pada metode pasar bebas (free trade) yang
diserahkan pada mekanisme pasar dan tidak dibatasi oleh aturan-aturan positif
maupun normatif (www.detikfinance.com)
[1] . Institusi komplementer neoliberalisme menggunakan istilah pasar
bebas dan globalisasi sebagai gaya modern untuk menutupi keburukannya.
Neoliberalisme, pasar bebas, dan globalisasi adalah wujud baru penjajahan masa
kini dari segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya (neoimprealisme). Sulitnya
mendapatkan transparansi statement atau informasi proses kebijakan dari
lembaga-lembaga pemerintah merupakan salah satu bukti kongkret dari rupa baru
neoliberalisme. Kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan mengatas namakan
globalisasi dan pasar bebas itu telah berhasil menciptakan ketimpangan sosial
ekonomi, sehingga si kaya semakin menjadi kaya dan sebaliknya si miskin kian
terpuruk dengan kondisi ekonominya.
Neoliberalisme sebelumnya merupakan bentuk awalnya kapitalisme
(laissez faire). Setelah krisis selama 25 tahun terakhir dan semakin
berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital,
meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberalisme.[2] Melalui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan
berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Sejak
1970-an Keynesianisme yang menjadi fondasi welfare State telah masuk dalam
catatan kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom
Neoliberalisme Friederich August Von Hayek dan Milton Friedman. Mulai dekade
1980-an aliran kanan baru yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald
Reagen memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara
intevensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya pada tahun 1990-an, kapitalisme
neoliberalisme pasar bebas dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia
yang dominan.
Sistem keadilan Negara sejahtera ( welfare state) dianggap sebagai
langkah maju kapitalisme dengan tujuan untuk meredam ekses kapitalisme yang
berlebihan dan mengurangi daya tarik sosialisme. Sistem ini cukup menarik bagi
semua lapisan masyarakat baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofisnya,
Negara sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang
sangat penting yang tidak mungkin bergantung pada operasi kekuatan – kekuatan
pasar, kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak harus merupakan bukti dari
kegagalannya. Karenanya sistem ini mengakui full employment dan distribusi
pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan
negara. Seperti dicontohkan dalam sejarah perekonomian Amerika Serikat era Rosevelt
yang mengamini pemikiran Keynes, AS mengalami perbaikan kondisi ekonomi yang
sangat baik antara 1950 – 1960 an, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata
serta inflasi yang terkendali.[3] Masa keemasan tersebut berakhir pada awal tahun 1970-an setelah terjadi
penumpukan modal pada segolongan kapitalis, meningkatnya pengangguran dan
berbagai permasalahan yang timbul pada APBN. Dari sinilah kemudian muncul faham
neoliberalisme.
Secara umum konsep – konsep neoliberalisme dapat dilihat dengan
indikator : pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara,
menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak – hak buruh, menghilangkan control
atas harga, mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas semua
subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan
sosial dan pada saat yang sama subsisi besar – besaran diberikan kepada
perusahaan transnasional (TNCs) melalu tax holidays, mempercayai deregulasi
ekonomi, privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus dengan
efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi
kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal
kebutuhan dasar mereka, dan memprioritaskan paham tentang publics good dan
solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.[4]
Setiap sistem pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu
menghilangkan kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana sistem kapitalisme dalam
perjalanannya ternyata banyak meninggalkan strata dalam masyarakat, dimana yang
kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Walaupun telah dimodifikasi dengan
peluncuran welfare state dengan memainkan peran negara tetap meninggalkan
masalah yang tidak ada ujungnya menggapai kesejahteraan bagi seluruh ummat
manusia dan pengikutnya.
Sistem sosialis dan marxisme sebagai lawan dari kapitalisme pun
pernah memainkan perannya selama 60 tahun dan memberi kontribusi perkembangan
komunisme. Selama 44 tahun partai komunis menerapkan dasar – dasar sosialis,
dan dalam perkembangannya pun sistem sosialis pun runtuh lebih cepat dari yang
diprediksikan. [5] Dalam Zakiyuddinn dipaparkan kelemahan – kelemahan utama sistem
sosialis karena, Pertama, ideologi ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada
kemampuan manusia untuk mengelola kepemilikan pribadi dalam batasan – batasan
kesejahteraan sosial, Kedua, Mesin kekuasaan negara dijalankan oleh sekelompok
orang yang kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam
praktik yang terjadi sebaliknya, sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan
negara memanfaatkan kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka
sendiri, Ketiga, subsidi umum yang besar hanya menguntungkan si kaya dan orang
– orang istimewa dibanding si miskin yang daya belinya terbatas.[6]
Paparan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sistem ekonomi
yang bersumber dari ideologi – ideologi kapitalis, neoliberal, negara
sejahtera, sosialis masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan
keadilan ekonomi dalam soal produksi, distribusi dan konsumsi. Perlu dicari dan
diberi ruang alternatif – alternatif sistem ekonomi yang dibingkai dengan semangat
etis dan nilai – nilai moral tinggi yang menjadi pedoman.
B.
Teori - teori Keadilan Ekonomi Kontemporer
Sistem – sistem ekonomi yang telah disebutkan di muka - kapitalis,
sosialis, neoliberalisme, Marxisme, Welfare State – pada dasarnya mempunyai tujuan
dan paham yang sama tentang keadilan. Akan tetapi dalam perdebatannya telah
melahirkan perbedaan cukup mendasar dalam menentukan makna dan definisi yang
tepat tentang keadilan.[7] Selanjutnya teori – teori keadilan yang menjadi landasan pijak
sistem – sistem ekonomi kontemporer itu meliputi Prinsip Egalitarianisme
Radikal, Prinsip Perbedaan, Prinsip Berbasis Sumber Daya, Prinsip Berbasis
Kesejahteraan, Prinsip Berbasis Balasan, dan Prinsip Libertian.
Beberapa keterbatasan dalam prinsip – prinsip tersebut di antaranya
adalah :
1.
Pertama,
dalam hala kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal dan Prinsip Libertian
berada pada posisi saling bertentangan. Egalitarianisme mementingkan
kepemilikan kolektif, sedangkan libertian mengedepankan kepemilikan pribadi dan
self-interest. Tapi keduanya juga mengalami kebuntuan dalam mengatasi masalah
keadilan dalam kepemilikan.
2.
Kedua,
dalam hal sumber daya, prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa duni ini pada
asalnya tidak ada yang memiliki, jika demikian , dengan cara apapun bukan hal
yang masalah jika sumber daya ini diperlakukan sesuai kemauan manusia. Perbedaan
terpenting antara liberalisme dan libertarianisme adalah pandangan tentang
kebebasan individu. Menurut libertarianisme, kebebasan yang menjadi hak
individu merupakan satu bentuk properti privat, tidak seorang pun atau apa pun
yang dapat merampas dan mencabutnya dari seseorang tanpa dianggap telah
melanggar hak orang tersebut. Seperti
libertarianisme, liberalisme juga mengutamakan kebebasan.[8] Kebebasan menurut liberalisme tidak dapat dikorbankan untuk nilai
yang lain, untuk nilai ekonomi, sosial dan politik. Kebebasan hanya dapat
dibatasi dan dikompromikan ketika ia konflik dengan kebebasan dasar yang lain yang lebih luas. Karenanya,
kebebasan menurut liberalisme bukan sesuatu yang absolut, kebebasan hanya dapat
dibatasi demi kebebasan itu sendiri.
3.
Ketiga,
ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada sau aspek semata dari
fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat memberikan jawaban
secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri, : Prinsip Berbasis Sumber Daya
secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung jawab sosial atas mereka
yang kurang beruntung, dan tidak
ada subsidi bagi mereka yang kurang
pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), dengan
berpedoman pada the great happiness for the great number, mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan atau kesejahteraan mayoritas; dan
Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan
bila setiap orang harus menerima balasan atau upah sesuai dengan usaha dan
kontribusi aktualnya bagi masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas
kondisi mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat?.
4.
Keempat,
dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus memiliki tingkat
yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah penghargaan atas
kenyataan adanya perbedaan antar orang perorang dan atas mereka yang secara
ekonomi lebih produktif?
5.
Kelima, berdasarkan
kompetisi, pasar bebas secara moral
dikehendaki sebagai alat yang dipercaya
untuk mengalokasikan dan mendistribusikan
sumber daya secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar tidak sepenuhnya
dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam kondisi
demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yang
kurang beruntung?.
6.
Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan John
Rawls adalah berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut
sebagai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan bagaimana ketidaksamaan
diatasi. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak dilihat sebagai
suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak dipandang sebagai
potensi untuk saling mengambil manfaat dan titik tolak untuk mengukir prestasi.
Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan
tidak terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang
beruntung untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung.
7.
Terakhir, hampir semua teori keadilan di atas cenderung
fokus pada keadilan distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan
ekonomi seperti konsumsi dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan
lingkungan luput dari perhatian.[9]
Dalam sistem ekonomi konvensional
para pakarnya berbeda pendapat tentang keadilan distribusi. Setidaknya ada
empat konsep keadilan distribusi yang berkembang: Konsep Egalitarian: Setiap
orang dalam kelompok masyarakat menerima barang sejumlah yang sama. Konsep
Revolution: Memaksimalkan utility orang paling miskin. Konsep Utilitarian :
memaksimalkan konsep utility dari setiap orang dalam kelompok masyarakat.
Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang
paling adil.[10]
C.
Konsep Keadilan Neoliberalisme
Dalam hal konteks kepemilikan, Adam Smith sebagai penggagas
Liberalisme Klasik meletakkan kepentingan diri (self –interest) sebagai basis
kepemilikan, sehingga asumsi tersebut dipakai Libertian dijadikan prinsip
pertama dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya sendiri. Bias
antroposentris mengarahkan prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan
Libertarianisme meletakkan manusia sebagai tujuan dalamm dirinya sendiri, bukan
sesuatu yang pada akhirnya kembali kepada asal ciptaan sebagai tujuan akhir. Prinsip
keadilan kedua menyatakan dunia pada awalnya tidak dimiliki oleh siapapun.
Dalam hal produksi, produksi adalah kegiatan manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan menggunakan sumber daya alam sebagai sarana dan
faktor – faktor produksi yang lain. Kegiatan produksi melibatkan banyak unsur
sehingga harus diletakkan dalam kerangka keadilan. Penggunaan sumber daya alam
tidak mengganggu keseimbangan alam, penguasaan faktor – faktor produksinya.
Faham neoliberal bermula dari faham liberal, pada tahun 1776 Adam
Smith mempromosikan faham liberali dalam bukunya “The Wealth of Nations”. Smith
beropini bahwa kebebasan dalam produksi dan perdagangan tanpa intervensi
pemerintah (laissez faire) merupakan cara terbaik untuk membangun ekonomi suatu
Negara. Smith percaya pada doktrin invisible hands (tangan gaib) akan
menciptakan keseimbangan dengan sendirinya atau secara otomatis. Kemudian
kebebasan tersebut menimbulkan dampak domino pada kebebasan berusaha dan
bersaing, sehingga para pemilik modal/capital berlomba-lomba memaksimalkan
keuntungan.
Di Indonesia dampak negatif neoliberal dirasakan oleh bangsa
Indonesia hingga sekaranga yang diawali dari Konsensus Washington pada akhir
tahun 1980 – an. Garis besar agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington
meliputi pelaksanaan: (1) kebijakan efisiensi anggaran secara ketat, termasuk
penghapusan subsidi negara dalam berbagai formulasinya, (2) liberalisasi sektor
keuangan, (3) liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) privatisasi BUMN. [11]
Dalam hal di atas maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan faktor –
faktor produksi dimiliki oleh sebagian kecil atau segelintir orang atau
kelompok tertentu, sehingga jurang kesenjarangan sosial makin melebar terutama
kesenjangan pendapatan di Indonesia. Alasan – alasan yang melatarbelakanginya
diketahui dari beberapa berikut ini :[12]
Pertama,
kebijakan noliberal selalu mengagung-agungkan perdagangan bebas tanpa batas,
dengan alasan demi pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Efek
selanjutnya yang muncul ialah penghapusan segala bentuk tariff dan bea impor.
Hal ini berdampak berantai terhadap kondisi ekonomi rakyat. Misal kemerosotan
pendapatan produsen atau UMKM, kemandulan pertanian lokal, dan instabilitas
industri dalam negeri. Situasi ini mendorong proses penyingkiran rakyat dari
alat-alat produksi. Di sektor industri, produsen kecil tersingkir dari lapangan
produksi. Di sektor pertanian, peningkatan drastis jumlah petani tak bertanah. Kedua,
pemerintah sangat ketergantungan terhadap kapital asing. Oleh karena itu,
pemerintah menghalalkan segala cara untuk menarik investor asing untuk
berinvestasi di dalam Negeri. Untuk menambah penanaman modal asing, pemerintah
membuat kebijakan atau regulasi yang menyamankan dan memudahkan perusahaan MNC,
misal pengurangan pajak untuk perusahaan tersebut. Secara otomatis kebijakan
ini berakibat pada penurunan pendapatan negara dari sektor pajak. Sebagai
imbasnya, pemerintah akan membuat kebijakan untuk menaikkan pajak bagi pelaku
usaha di dalam negeri atau menciptakan berbagai jenis pajak yang diambil dari
warga Negara Indonesia. Hal ini semakin menambah ketimpangan pendapatan. Segi
positif dialami oleh perusahaan MNC yang mendapatkan keuntungan besar,
sebaliknya rakyat dipaksa untuk membayar pajak sebanyak-banyaknya kepada
pemerintah. Kebijakan lainnya yang memungkinkan untuk dilakukan adalah deregulasi
pasar tenaga kerja dengan upah yang sangat minimum, penerapan sistem
outsourcing dan kontrak. Ketiga, privatisasi atau
swastanisasi terhadap BUMN. Dengan alasan untuk meningkatkan efisiensi,
efektivitas, dan pelayanan publik. Maka BUMN banyak yang dijual kepada pihak
swasta, termasuk penjualan badan-badan usaha yang menyangkut hajat hidup orang
banyak. Misalnya perusahaan rumah sakit, sekolah, listrik, air, tranportasi,
pertambangan, dan perbankan. Pihak swasta dianggap agen tunggal yang kompetibel
dalam perekonomian dan diasumsikan mampu bersaing dalam dunia global. Ketika
perusahaan BUMN sudah berpindah tangan pada swasta, akan menyebabkan kenaikan
biaya (cost) atau ongkos, dimana keuntungan atas kenaikan tersebut hanya dapat
dinikmati oleh segelintir orang saja (FSPI, 2003:3). Keempat,
ketergantungan terhadap utang luar negeri. Hal ini merupakan akibat dari
lemahnya sektor-sektor produktif dalam negeri dan berkurangnya penerimaan
pendapatan negara dari sektor pajak. Sehingga pemerintah memprioritaskan cicilan
pengembalian utang melalui kebijakan APBN, karena ketika utang tersebut dicicil
dengan lancar dan on time akan menambah trust investor asing. Sedangkan
dampaknya di dalam negeri, pemangkasan anggaran untuk belanja modal dan belanja
sosial. Seperti kesehatan dan pendidikan, serta penghapusan subsidi, misal
subsidi pertanian,energi, dan lain sebagainya. Kelima,
membiarkan pasar yang berkuasa. Ini sama saja dengan membebaskan aktivitas
swasta untuk masuk kepada sektor layanan publik melalui mekanisme pasar.
Layanan publik, seperti kesehatan, air minum (bersih), pendidikan, penyediaan
rumah, dan lain sebagainya, diserahkan kepada mekanisme pasar. Akhirnya, di
mata dan fikiran rakyat layanan mendasar tersebut menjadi komoditi mewah dan
merekalah yang akan menanggung kenaikan harga layanan tersebut, karena
masyarakat diasumsikan sebagai konsumen sejati.
Menurut Revrisond Baswir (Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan
UGM), inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal bertumpu kepada : (1)
pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas dan sempurna ; (2)
kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan
harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar
yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang. Dalam sistem
ekonomi neoliberal tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan
komoditi dan barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh
kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor sumber daya
air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan
oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water
resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang
ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola
barang ekonomis. [13]
D.
Konsep Keadilan Ekonomi Sosialisme
Sosialisme muncul sebagai antithesis dari kapitalisme.ia lahir didorong oleh fenomena
kemelaratan kaum buruh dan petani yang terkena dampak revolusi industry yang
telah menyebar ke seantero eropa, Sosialisme mengajak umat manusia meninggalkan
kepemilikan individu atas alat-alat produksi.Ciri
Utama sosialisme yaitu berada pada hilangnya kepemilikan individu atas
alat-alat produksi dan sangat mengandalkan peran pemerintah sebagai pelaksana
perekonomian dan meninggalkan pasar.[14]
Afsalur Rahman dalam Economic Doctrines of Islam juga
mengatakan, bahwa prinsip dasar ekonomi sosialis itu ada tiga antara lain:
(1) Pemilikan harta oleh negara; Seluruh bentuk dan sumber pendapatan
menjadi milik negara atau masyarakat keseluruhan. Hak individu untuk memiliki
harta atau memanfaat produksi tidak diperbolehkan. Dengan demikian individu
secara langsung tidak mempunyai hak pemilikan, (2) Kesamaan ekonomi;
Sistem ekonomi sosialis menyatakan (walaupun sulit ditemui di negara komunis)
bahwa hak-hak individu dalam suatu bidang ekonomi ditentukan oleh prinsip
kesamaan. Setiap individu disediakan kebutuhan hidup menurut keperluan
masing-masing, dan (3) Disiplin Politik; Untuk mencapai tujuan di atas,
keseluruhan negara diletakkan di bawah peraturan kaum buruh, yang
mengambil alih semua aturan produksi dan distribusi. Kebebasan ekonomi serta
hak pemilikan harta dihapuskan sama sekali. [15]
Konsep keadilan Sosialisme pada dasarnya bersandar pada prinsip
Egalitarianisme radikal. Dengan dimotori tokoh Karl Marx yang menyatakan negara
adalah pemilik tunggal atas aset – aset dan kegiatan ekonomi, individu dilarang
mempunyai kepemilikan dan kebebasan untuk bertransaksi. Penentuan konsumsi bagi
masyarakat juga ditentukan oleh negara, selera dan pendapatan ditentukan oleh
pusat pemerintah (negara).
“Sosialisme
Islam Menurut Sayyid Qutb”
Ada yang berpendapat Sosialisme juga pada dasarnya mempunyai
kesamaan dengan Islam dengan dimotivatori oleh pemikiran sosialisme Sayyid
Qutb. [16] Sosialisme merupakan salah satu ajaran yang menginginkan
penghapusan terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Ajaran ini
mengelaborasikan antar kehidupan mewah dengan kehidupan kelas bawah, sehingga
melahirkan keseimbangan hidup dalam sebuah tatanan masyarakat. Mengamati hal
tersebut, maka sistem sosial menganalisis tiga aspek penting, yaitu: pertama,
hubungan umum dari berbagai sistem; kedua, situasi normal atau situasi
keseimbangan, sejajar dengan kondisi normal, dan ketiga, semua sistem melakukan
reintegrasi kepada sistem normal. Karena itu, sosialisme pada hakikatnya
merupakan suatu proses untuk mensejahterakan seluruh masyarakat, sehingga dapat
menumbuhkan dan mendorong perkembangan ekonomi secara merata. Oleh karena itu,
Sayyid Quthb menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya sosialisme adalah proses
memberikan kesejahteraan kepada rakyat dalam mencapai taraf kesejahteraan yang
abadi”.
Sayyid Quthb menjelaskan sebuah sistem yamg berbeda dengan sistem
yang disodorkan oleh Kristen dan Komunisme. Di mana Islam memandang manusia
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara kebutuhan rohani dan
kebutuhan jasmaniahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan materialnya.
Di sini Islam memandang alam semesta dan kehidupan di dalamnya dengan
universal, tidak parsial dan terpisah-pisah. Sebuah analisis menyatakan ada
kesamaan karakter perjuangan Islam dan sosialis, yakni sama-sama memperjuangkan
"kaum tertindas". Yang perlu digaris bawahi antara Islam dan
Sosialisme adalah gambaran yang berbeda dalam lingkaran kehidupan umat manusia
baik dari sumber maupun nilai. Akan tetapi ada kesamaan spirit keduanya dalam
menegakkan keadilan dalam realitas sosial.
Sosialisme Sayyid Quthb berorientasi kepada ayat-ayat al-Qur’an
yang di dalamnya disebutkan konsep-konsep kehidupan sosial yang telah
digariskan Allah. Dan ini merupakan aturan kehidupan sosial yang berlandaskan
petunjuk Ilahi. Sebagai contoh, persoalan yang umumnya terjadi adalah
kemiskinan yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadi kesenjangan sosial
dan ekonomi antara kalangan kaya dengan miskin. Hal ini merupakan masalah umum
dihadapi oleh masyarakat dunia. Umat
Islam merupakan bagian dari penduduk
dunia yang juga memiliki pandangan hidup sosialis.[17]
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep sosialisme yang dimotori
pemikiran Marx dengan sosialisme dalam
Islam mempunyai perbedaan dalam hal sumber pijakannya dan memandang keadilan. Dimana
sosialisme konvensional lebih melandaskan pada materi semata, sedangkan
sosialisme Islam berpijak pada ayat – ayat Al Qur’an yang menanamkan nilai –
nilai kebaikan, kemaslahatan dan keadilan.
E.
Konsep Keadilan Ekonomi Islam
Konsep kepemilikan dalam Islam tertuang dalam QS Al A’raf : 128 ,” sesungguhnya
bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dari hamba – hamba-Nya. Dan sesungguhnya yang baik adalah bagi orang – orang
yang bertakwa”. Dalam ayat lain Allah berfirman : “Dan Sesungguhnya benar –
benar Kami-lah yang menghidupkan dan mematikan dan Kami Pulalah yang mewarisi,”
(QS Al Hijr : 23 ). [18] Sehingga setelah Allah menciptakan bumi, Allah tidak begitu saja
tanpa menyediakan fasilitas yang dibutuhkan manusia untuk menjaga eksistensinya
dalam kehidupan, [19] fasilitas berupa oksigen, air, tumbuh-tumbuhan, sumber daya alam
yang lainnya, QS Qaaf : 7-11 Allah berfirman ,
“Dan
Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung – gunung yang kokoh
dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata,
untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap – tiap hamba kembali
(mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit, air yang banyak manfaatnya
lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon – pohon dan biji – biji tanaman yang
diketam, dan pohon kurma yang tinggi – tinggi yang mempunyai mayang yang
disusun – susun, untuk menjadi rizki bagi hamba – hamba (Kami) dan Kami
hidupkan dengan air itu tanah yang mati ( kering ). Seperti itulah terjadi
kebangkitan”.
Atas dasar dalil di atas maka konsep kepemilikan oleh kaum
Libertianisme dimentahkan, bahwa semua dunia awalnya tidak dimiliki siapapun,
bahwa semua sumber didunia yang ada dapat dieksplorasi sebesar – besar untuk
kepentingan pribadi, semangat kompetisi yang tinggi tanpa batas. Islam dengan
rujukan wahyu telah diatur bagaimana mensikapi dunia dan seluruh isinya hanya
untuk beribadah kepada-Nya.
Islam sebagai way of life bagi kehidupan manusia sehingga
Islam hadir sesuai dengan fitrah manusia, tidak menafikkan bahwa manusia juga
mempunyai kecenderungan untuk memiliki harta. Kefitrahan manusia
ditindaklanjuti dengan bekerja dengan kesungguhan, meningkatkan produktivitas
dan profesionalismenya untuk kesejahteraan dirinya dan orang lain. Konsep
kepemilikan dalam Islam tetap memperbolehkan bahwa tiap manusia berhak atas
tanah pribadi, warisan harta , hibah, jual beli. Konsep kepemilikan dalam Islam
ada terbagi menjadi dua: kepemilikan individu dan kepemilikan umum (publik).
Islam mengatur kepemilikan tersebut dikelola dengan proporsional sesuai kebutuhan
dan mengedepankan kemaslahatan ummat.
Prinsip Keadilan dalam produksi, Islam memandang bahwa sumber daya
alam adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara universal,
karenanya pemakaia sumber daya alam , dan faktor – faktor produksi yang
terlibat mempunyai hak dan kewajiban yang proporsional. Pada dasarnya sumber
alam didunia ini banyak dan luas, akan tetapi yang menjadi ketidak seimbangan
dan kelangkaan adalah pada kerakusan manusia itu sendiri.
Produksi adalah manifestasi manusia bekerja. Islam mewajibkan
setiap manusia bekerja untuk mencari harta yang halal. Dalam proses produksi
darimana sumber daya diperoleh, bagaimana mengelola dan mengolahnya serta untuk
siapa dan bagaimana mengkonsumsi dan mendistribusikan secara adil kepada segenap
masyarakatnya. Menggunakan sumber daya alam serta faktor produksi harus dalam
kerangka keadilan, keseimbangan alam sebagai bentuk eksplorasi manusia terhadap
alam harus diperhatikan sehingga tidak terjadi bencana, pengupahan buruh dan
tenaga kerja harus proporsional sesuai haknya, mencari modal harus dilandaskan
kehalalan tidak merugikan pihak lain.
Kahf dalam tema Teori Produksinya menyatakan bahwa produksi bisa
ditilik dari dua aspek, kajian positif hukum – hukum benda dan hukum – hukum
ekonomi yang menentukan fungsi produksi, dan kajian normatif yang membahas
dorongan – dorongan dan tujuan – tujuan produksi. [20] Selanjutnya dipaparkan bahwa motif – motif produksi ditujukan agar
tidak terjadi kemalasan dan ketidakseunggugan dalam perikehidupan ummat manusia
itu sendiri.
Konsumsi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep produksi.
Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah permintaan (demand) sedangkan
produksi adalah penawaran (supply). Konsumsi adalah tahapan akhir dan
terpenting dalam produksi kekayaan. Kekayaan diproduksi untuk dikonsumsi. [21]
Manusia dengan segala fitrahnya tentu mempunyai kebutuhan serta
keinginan yang berbeda – beda dalam berkonsumsi. Namun Islam mengatur bahwa
pada dasarnya kebutuhan manusia itu tidaklah banyak hanya terkadang keinginan –
keinginan yang berlebih diluar batas kebutuhannyalah yang membuat pola konsumsi
manusia menjadi tidak terbatas. Ketidak terbatasan konsumsi manusia itu pun
mempengaruhi pola produksi manusia untuk merampas segala kekayaan alam dn
sumbernya hanya untuk memenuhi dunia yang tidak terbatas. Polanya tidak lagi
menjadikan konsumsi adalah bagian dari ibadah akan lebih karena gaya hidup
(prestige) semata.
Membahas konsumsi dalam Islam tidak terlepas dari konsep harta.
Bagaimana seharusnya manusia memandang harta dalam kacamata Islam. Harta yang
melimpah yang dimiliki sebagian orang atau manusia adalah dipandang sebagai
anugrah dari Allah, bukans semata – mata kepemilikan dan konsumsi pribadi yang
mana orang lain tidak punya hak atasnya. Agar terjadi keseimbangan dalam hidup
berekonomi Islam telah mengatur dengan konsep Zakat, Infaq dan shadaqah serta
qurban.
Di dalam masyarakat Islam tidak memungkiri adanya strata dalam
kepemilikan harta, masyarakat miskin dalam masyarakat muslim saat ini pun dapat
dikatakan menempati peringkat tinggi dalam lingkup dunia. Islam menekankan
adanya pemberantasan kemiskinan, pemberantasan kesenjangan antara kaya dan
miskin, sehingga konsep zakat, infaq dan shadaqoh serta Qurban adalah konsep
mulia yang telah Allah tetapkan untuk menjaga keseimbangan sosial ummat manusia
di dunia. Kemiskinan adalah persoalan utama di dalam semua sistem ekonomi baik
Sosialisme , welfare state, neoliberalisme. Tapi Islam datang memberi sistem
keadilan sosial dengan jalan membagikan harta lewat jalur zakat, infaq dan
shadaqoh serta Qurban. Kemiskinan harus diberantas karena kefakiran
(kemiskinan) lebih dekat dengan kekufuran (pengingkaran) terhadap Islam.
Demikian Islam memandang bahwa konsep konsumsi harus ditujukan
semata – mata untuk kemaslahatan, untuk tujuan tidak hanya dunia tapi juga akhirat.
Islam mempunyai etika tentang konsumsi, Islam tidak memperkenankan berlebih –
lebihan dalam konsumsi (isrof atau
pemborosan) dan juga tidak mempergunakan harta dengan cara yang salah atau
Tabzir. Tabzir disini bisa dalam bentuk untuk tujuan – tujuan yang terlarang
yaitu seperti penyuapan, korupsi dan segala macam bentuknya.
Konsep Wakaf, Infaq dan shadaqoh serta qurban pada dasarnya
melahirkan konsep baru yang perlu banyak
dikaji dalam bab khusus selanjutnya, dimana konsep kesejahteraan Islam menjadi
wadahnya. Kemiskinan mempunyai porsi cara dan penanganan khusus terutama dalam
manajemennya. Seperti yang ditulis oleh Zakiyah dalam artikelnya bahwa
kemiskinan memerlukan strategi khusus dalam penanganannya. [22]
Untuk memahami konsep kesejahteraan dalam Islam, penting untuk
mempelajari sifat manusia seperti yang Azmi (1991) sebutkan dalam artikelnya.
Manusia, dalam hal ini, digambarkan sebagai bukan hanya materi tetapi juga
makhluk spiritual yang mengacu pada wahyu Ilahi. Dengan demikian, kesejahteraan
individu terdiri dari dua hal yaitu: (1) implementasi nilai spiritual syariah
yang lebih lengkap dalam kehidupan sehari-hari, (2) pencapaian yang cukup dari
semua kebutuhan bahan dasar kehidupan.
F.
Kesimpulan
Berdasar uraian di atas tentang analisis perbandingan konsep
keadilan Neoliberalisme, Sosialisme dan Islam adalah sebagai berikut :
1.
Ketidakadilan
adalah persoalan universal yang dialami oleh segala sistem ekonomi yang telah
ada di seluruh dunia.
2.
Konsep
keadilan masing – masing sistem pada dasarnya mempunyai persamaan tujuan cita –
cita dan pandangan untuk menegakkan keadilan, akan tetapi dalam pelaksanaannya
mempunyai perbedaan mendasar dalam menentukan makna dan definisi tentang
keadilan. Dikarenakan landasan teori berpijak yang berbeda – beda.
3.
Teori
– teori keadilan kontemporer yang menjadi landasan sistem – sistem ekonomi
kontemmporer antara lain , : Prinsip Egalitarianisme Radikal, PrinsipPerbedaan,
Prinsip Berbasis sumber daya, Prinsip berbasis kesejahteraan, Prinsip berbasis
balasan, dan prinsip Libertarianisme.
4.
Aspek
– aspek keadilan dalam semua sistem ekonomi antara lain : konsep keadilan
kepemilikan, Konsep keadilan produksi, konsep keadilan konsumsi dan distribusi.
5.
Islam
adalah agama yang menawarkan konsep menyeluruh dalam berbagai aspek untuk
menjadi problem solving atas terjadinya ketidakadilan yang ditimbulkan dari
konsep – konsep sistem kontemporer yang telah gagal mencapai keadilan.
6.
Zakat,
Infaq, Shadaqah dan qurban merupakan bentuk sistem kesejahteraan Islam yang
ditawarkan untuk mengatasi kesenjangan atau ketidakadilan dalam ekonomi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Ma’ruf. “Perbedaan Paradigma Ekonomi
Konvensional Dan Ekonomi Islam Dalam Teori Dan Realita (Perspektif Mikro).” At-Taradhi:
Jurnal Studi Ekonomi, June 9, 2016. http://idr.iain-antasari.ac.id/5008/.
Adinugraha, Hendri
Hermawan. “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM.” MEDIA 19, no. 2
(2015).
http://dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/3._Hendri_Hermawan-1_.pdf.
Ahida,
Ridha. “Liberalisme Dan Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu Dan
Komunitas.” Jurnal Demokrasi 4, no. 2 (October 1, 2005). http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1063.
Al Mishri, Abdul Sami’.
Pilar - pilar Ekonomi Islam. Cetakan 1. Pustaka Pelajar, 2006.
Asnawiyah, Asnawiyah.
“KONSEP SOSIALISME ISLAM MENURUT SAYID QUTHB.” Substantia 15, no. 1
(April 1, 2013). http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/6.
“BAHAYA NEOLIBERALISME
| Menggapai Ridha Allah.” Accessed June 12, 2017.
https://amiur.wordpress.com/2010/10/20/bahaya-neoliberalisme/.
Baidhawy, Zakiyuddin.
“Distributive Principles of Economic Justice: An Islamic Perspective.” Indonesian
Journal of Islam and Muslim Societies 2, no. 2 (December 1, 2012): 241–66.
doi:10.18326/ijims.v2i2.241-266.
Depag, RI. Al Qur;an
Dan Terjemahnya. Edisi Revisi 1989. CV Toha Putra, Semarang, 1989.
Kahf, Monzer. Ekonomi
Islam ( Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam ). Cetakan 1.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
“Konsep Ekonomi Syariah
Diantara Konsep Ekonomi Sosialis Dan Liberalis.” Nonkshe, March 13,
2012. https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariah-diantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis/.
Zakiyah, Zakiyah.
“Islamic Welfare System Dealing with the Poor in Rural Area.” Indonesian
Journal of Islam and Muslim Societies 1, no. 1 (June 1, 2011): 37–67.
[1] Hendri Hermawan Adinugraha,
“NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM,” MEDIA 19, no. 2 (2015),
http://dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/3._Hendri_Hermawan-1_.pdf.
[2] Zakiyuddin Baidhawy, “Distributive
Principles of Economic Justice: An Islamic Perspective,” Indonesian Journal
of Islam and Muslim Societies 2, no. 2 (December 1, 2012): 241–66,
doi:10.18326/ijims.v2i2.241-266.
[3] Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM
PERSPEKTIF ISLAM.”
[4] Baidhawy, “Distributive Principles of
Economic Justice.”
[5] Abdul Sami’ Al Mishri, Pilar - pilar
Ekonomi Islam, Cetakan 1 (Pustaka Pelajar, 2006), 221–22.
[6] Baidhawy, “Distributive Principles of
Economic Justice.”
[7] Ibid.
[8] Ridha Ahida, “Liberalisme Dan
Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu Dan Komunitas,” Jurnal Demokrasi
4, no. 2 (October 1, 2005),
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1063.
[9] Baidhawy, “Distributive Principles of
Economic Justice.”
[10] Ma’ruf Abdullah, “Perbedaan Paradigma
Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi Islam Dalam Teori Dan Realita (Perspektif
Mikro),” At-Taradhi: Jurnal Studi Ekonomi, June 9, 2016,
http://idr.iain-antasari.ac.id/5008/.
[11] Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM
PERSPEKTIF ISLAM.”
[12] Ibid.
[13] “BAHAYA NEOLIBERALISME | Menggapai Ridha
Allah,” accessed June 12, 2017,
https://amiur.wordpress.com/2010/10/20/bahaya-neoliberalisme/.
[14] “Konsep Ekonomi Syariah Diantara Konsep
Ekonomi Sosialis Dan Liberalis,” Nonkshe, March 13, 2012,
https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariah-diantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis/.
[15] Ibid.
[16] Asnawiyah Asnawiyah, “KONSEP SOSIALISME
ISLAM MENURUT SAYID QUTHB,” Substantia 15, no. 1 (April 1, 2013),
http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/6.
[17]
Asnawiyah, Konsep Sosialisme Islam Menurut Sayyid Qutb......
[18] RI Depag, Al Qur;an Dan Terjemahnya,
Edisi Revisi 1989 (CV Toha Putra,
Semarang, 1989).
[19] Al Mishri, Pilar - Pilar Ekonomi Islam,
24–25.
[20] Monzer Kahf, Ekonomi Islam ( Telaah
Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam ), cetakan 1 (Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1995), 33.
[21] Baidhawy, “Distributive Principles of Economic
Justice.”
[22] Zakiyah Zakiyah, “Islamic Welfare System
Dealing with the Poor in Rural Area,” Indonesian Journal of Islam and Muslim
Societies 1, no. 1 (June 1, 2011): 37–67.